Minggu, 07 Maret 2010

PSIKIATRI BUDAYA DI INDONESIA


Barangkali salah satu kelebihan psikiatri Indonesia dibanding negara-negara lain, khususnya negara barat seperti USA dan Eropa, adalah sub bidang psikiatri budaya (cultural-psychiatry). Hal ini disebabkan : (1) adanya keanekaragaman suku bangsa dengan corak khas budayanya masing-masing; (2) kepercayaan suku bangsa terhadap adat budaya masing-masing masih cukup kuat; (3) pola pikir dan perilaku masyarakat masih banyak terpengaruh warna budaya masing-masing; (4) pengaruh budaya terhadap bentuk dan gejala gangguan jiwa yang terjadi; (5) banyaknya fenomena perilaku yang terikat budaya setempat dan sukar dijelaskan secara ilmiah; dan (6) kepercayaan yang masih tebal pada sebagian masyarakat di daerahnya masing-masing terhadap “penyembuh tradisional” dengan metode-metode warisan leluhur.

Di negara-negara barat yang rata-rata masyarakatnya lebih “empirik” dan “rasional” tentu hal-hal diatas tidak ada lagi. Itulah sebabnya pada pertemuan dan seminar transcultural psychiatry internasional selalu para psikiater negara-negara Asia berbicara banyak dan psikiater dunia barat hanya mendengarkan dengan heran.

Bila dibanding sub-sub bidang psikiatri lainnya, seperti psikiatri biologi, psikoterapi, psikiatri anak remaja, psikiatri adiksi, dan psikogeriatri, nampaknya bidang-bidang ini masih “mengekor” pada psikiatri negeri barat. Betapapun majunya kelompok studi bidang-bidang ini, masih kalah jauh dengan negara-negara lain. Psikiatri budaya, karena kondisi sosio-antropologis Indonesia, mempunyai faktor-faktor yang tidak bisa ditandingi psikiatri barat.

Anehnya, justru bidang ini tidak diminati dan tidak berkembang di Indonesia. Mengapa? Mungkin orang berpikir, apakah gunanya? Adakah manfaatnya yang jelas dan praktis kita mendirikan kelompok studi untuk mendalami hal itu? Jelas masih jauh lebih bermanfaat dan praktis orang mendirikan kelompok studi psikiatri anak, adiksi atau psikiatri biologi daripada psikiatri yang mempelajari hal-hal yang “tradisional”, “kebelakang”, “absurd dan takhyul” yang sering irasional itu.

Definisi budaya, psikiatri, dan gangguan jiwa dari Prof Kusumanto

Berbicara tentang psikiatri budaya, cross-cultural, trans-cultural, atau cultural psychyatry saja, pastilah bicara tentang dimensi budaya, psikiatri sendiri dan gangguan mental. Ada banyak sekali definisi tentang “budaya” yang satu sama lain tidak persis sama karena tergantung pada segi apa kita memandang. Untuk mengenang dan menghormati Prof Kusumanto Setyonegoro, saya sitir konsep beliau dalam makalah yang disampaikan pada Semiloka Psikiatri Budaya Indonesia, 21-23 Juli 1994, diselenggarakan oleh Kelompok Studi Psikiatri Budaya (KSPB-IDAJI) The Indonesian Transcultural Psychiatry Association (ITPA),di Denpasar.

Budaya terdiri atas nilai-nilai (baik yang dinyatakan eksplisit maupun implisit), pola perilaku dan berbagai ide atau gagasan yang telah dituturkan sepanjang sejarah. Simbolik yang menjelma kemudian menjadi produk-produk kegiatan manusia, yang semuanya merupakan sumber data kreatifitas bagi berkembangnya lebih lanjut kegiatan-kegiatan berikutnya dan seterusnya.

Oleh sebab itu maka budaya itu : (1) memiliki keterikatan erat dengan masyarakat; (2) dapat dikuasai dan dipelajari oleh individu; (3) merupakan suatu kebinekaan dan suatu ke-ekaan secara bersama-sama (unity and diversity); (4) memiliki simbol-simbol tertentu yang dikomunikasikan melalui berbagai jenis transmisi simbolik dan (5) mengarah kepada suatu pembinaan integratif.

Psikiatri adalah cabang spesialistik ilmu kedokteran yang mengkhususkan diri dalam memperhatikan (diagnosis), mengobati (terapi, termasuk medikasi dan tindakan invasif lainnya), dan rehabilitasi (membimbing dan mengarahkan) mereka yang terganggu jiwanya menurut terminologi yang digunakan dan tercantum dalam ICD-10 dan DSM-IV, atau PPDGJ-III.

Untuk menjembatani kedua hal ini, Prof Kusumanto menampilkan pula dimensi anthropologi. Yaitu pengetahuan yang mempelajari manusia, khususnya asal-usulnya, klasifikasi, dan penyebarannya, serta hubungan antara berbagai ras atau bangsa dengan memperhatikan ciri-ciri fisik, sifat-sifat lingkungan dan berbagai karakteristik dari hubungan sosial dan budaya bangsa-bangsa tersebut.

Sedang gangguan jiwa, oleh Prof Kusumanto didefinisikan sebagai suatu istilah yang dapat dianggap seolah merupakan “lawan” dari istilah gangguan fisik. Tapi sekarang sudah diketahui, bahwa distingsi antara “jiwa” dan “fisik” adalah suatu hal yang cenderung menjadi “fiktif”. Dualisme dan dikhotomi tersebut merupakan suatu anakhronisme reduksionistik, karena itu merupakan suatu hal yang kurang menguntungkan.

Tiap gangguan (fisik dan mental) pada dasarnya memiliki: (1) kelainan struktural, misalnya colitis ulserosa, kelainan dalam struktur limbik, dll; (2) penampilan gejala, misal sakit kepala sebelah, kecemasan, dll; (3) etiologi, setidaknya faktor-faktor penting yang turut menyebabkan, misalnya kuman-kuman yang menyebabkan pneumonia, kekurangan atau kelebihan dopamin, dsb).

Selain itu, gangguan jiwa juga turut ditentukan oleh berbagai kondisi yang termasuk dalam konsep-konsep yang yang sudah luas diterima, seperti : distress, discontrol, disadvantage, disability, inflexibilitas, irrasionalitas, pola sindromal, dll. Maka secara mutlak, setiap gangguan jiwa harus memperlihatkan : (1) suatu sindrom atau pola perilaku yang secara signifikan nampak, dan yang terkait dengan suatu kondisi distress yang nyata (misal, keadaan nyeri yang mencekam); (2) disabilitas, misal menurunnya fungsi dalam kehidupan sehari-hari; dan (3) kemungkinan terjadinya resiko yang berat (misal kematian, kondisi gawat, kehilangan kebebasan).

Setiap gangguan jiwa itu bukanlah sekedar suatu respon saja, yang pada dasarnya dapat terduga atau layak terjadi atas dasar pertimbangan-pertimbangan kultural (misal reaksi sedih karena kecewa besar, reaksi kebingungan karena keluarga meninggal dunia, dsb). Suatu gangguan jiwa harus memperlihatkan manifestasi perilaku tertentu, suatu psikopatologi tertentu, dan disfungsi mekanisme biologik tertentu dari individu tersebut.

Karena manifestasi perilaku manusia sangat terpengaruh oleh dasar pertimbangan kultural setempat, maka manifestasi gangguan jiwapun mempunyai bentuk dan gejala yang terpengaruh budaya setempat. Budaya setempat sudah menjadi kesadaran kolektif manusia ditempat itu yang menentukan bentuk-bentuk gangguan perilaku yang muncul disitu. Fenomena kesurupan misalnya, sering terjadi pada daerah-daerah yang kepercayaannya kental tentang arwah-arwah leluhur atau tokoh-tokoh yang pernah hidup. Disinilah keterkaitan erat antara psikiatri dan budaya.

Psikologi Budaya dan Psikiatri Budaya

Marilah sekarang kita melihat bidang psikologi, suatu bidang yang bukan hanya dekat dengan psikiatri tapi bahkan merupakan suatu kesatuan. Karena sama-sama mempelajari mental dan perilaku manusia, hanya psikiatri lebih menekankan pada “disorder”, klasifikasi diagnostik dan terapinya. Dalam khasanah psikologi juga ada bidang “psikologi lintas budaya” dan “psikologi budaya”. Psikologi budaya justru menjadi kritik psikologi lintas budaya.

Much (1995) mendefinisikan psikologi budaya sebagai ilmu tentang perkembangan manusia yang melibatkan hubungan antara manusia, kelompok sosial, dan sistem-sistem simbol budaya. Simbol budaya terwujud melalui bahasa dan praktek praktek budaya lainnya, seperti: tata cara makan, ritual keagamaan, upacara perkawinan, atau upacara kelahiran. Kesemuanya itu bertujuan untuk mengkomunikasikan simbol-simbol budaya. Psikologi budaya menekankan pada kategori teoritik di lapangan dari sebuah budaya tempat mereka berasal.

Much (1997) berpendapat bahwa budaya manusia memiliki banyak aspek. Hubungan antar dapat dilakukan dengan berbagai cara. Misalnya melalui proses kreasi seseorang yang di dalamnya termasuk artefak (terentang dari benda-benda purbakala hingga ide-ide yang tertulis dalam buku), perilaku (mulai kebiasaan motorik hingga berpikir, berkomunikasi, dan mempengaruhi orang lain), atau abstraksi (kepercayaan atau pengetahuan tentang dunia, tentang diri sendiri dan orang lain, serta tentang hasil abstraksi kita sendiri).

Untuk memahami proses hubungan antar aspek budaya perlulah melihat sistem-sistem yang terkait dalam suatu budaya. Kajian yang dilakukan haruslah melibatkan sistem-sistem ini, peniadakan salah satunya akan melemahkan hasil kajian. Dalam psikologi budaya terdapat tiga sistem utama yang saling terkait : (1) manusia dengan sistem biologi tersendiri dengan pengalaman sejarah yang unik; (2) masyarakat, khususnya struktur sosial setempat dalam lingkup budaya tertentu; (3) pengertian simbolis, budaya adalah suatu sistem representasi, sistem simbol kolektif dan sistem penciptaan makna yang terinstitusionalisasi.

Tiga sistem utama yang saling terkait ini dapat pula menjelaskan suatu fenomena perilaku manusia yang unik, spesifik, yang dianggap sebagai “gangguan”, yang dalam psikiatri dimasukkan dalam kriteria culture-bound syndromes. PPDGJ-III mengeluarkan suplemen khusus untuk Sindrom yang Terkait Budaya Setempat ini. Kusumanto Setyonegoro (1995) menjelaskan hal ini sebagai perilaku yang menyimpang yang terikat pada lokalitas tertentu secara khusus, yang terkait secara langsung atau tak langsung pada pengalaman pribadi yang kurang menyenangkan.

Sering jenis sindrom ini dapat digolongkan dalam istilah atau diagnosis yang umum digunakan (PPDGJ-DSM) tetapi banyak yang menggunakan nama-nama lokal dan dianggap sebagai “aberasi”/”gangguan” dalam arti kata”illness” dan bukan disorder atau disease.

Culture-bound syndromes terdapat di seluruh dunia dengan gejala-gejala yang menarik perhatian, dengan kekhususan istimewa. Respons sosial itu jelas terkait kepada faktor-faktor budaya yang merupakan kenyataan dalam lokalitas-lokalitas tersebut. Beberapa culture-bound syndromes yang terkenal diantaranya adalah :

(1) Amok , diduga terjadi karena perasaan yang dihina; (2) Attaque de nervious, diduga disebabkan stres yang memuncak dalam keluarga; (3) Bilis & Colera, diduga karena adanya amarah besar yang tersimpan dalam hati; (4) Brain Fag, diduga karena kelelahan mental kebanyakan belajar; (5) Dhat, disuga disebabkan anxietas yang memuncak dan kecemasan hypokhondrial; (6) Ghost Sickness, diduga disebabkan mereka yang sudah meninggal (kadang dihubungkan dengan “tenaga hitam”). Timbul impian-impian buruk, kelemahan, ketakutan akan bahaya, anxietas, kehilangan nafsu maka, seperti tercekik, dan halusinasi; (7) Koro, terkenal di Asia Tenggara, yaitu ketakutan akan terancamnya penis laki-laki masuk ke dalam rongga perut; (8) Latah, terkenal di Indonesia dam Malaysia, biasanya pada wanita setengah umur yang bila terkejut secara repetitif menyebut kelamin laki-laki.

Kelompok Studi Psikiatri Budaya

Ada sedikit pengalaman, yang tidak saya sadari sepenuhnya, bahwa saya sudah masuk dalam bidang kajian psikiatri budaya. Pada tahun 1989 sewaktu saya masih residen, guru saya Prof Suyono memberikan instrumen ciptaannya tentang falsafah hidup Jawa untuk saya trial dulu dalam sebuah penelitian kecil sebelum masuk dalam penelitian thesis doktor beliau. Demikian pula teman-teman saya residen semua diberi satu instrumen dari thesis beliau yang memakai 14 instrumen psikometrik itu. Saya memakai instrumen itu dalam sebuah penelitian yang berjudul “Aspek Falsafah Hidup Jawa terhadap Depresi di Yogyakarta”.

Penelitian ini kemudian saya presentasikan dalam Kongres IDAJI di Ujungpandang dan telah masuk majalah Jiwa pula. Untuk itu saya harus masuk dalam kegiatan dua kelompok kebatinan di Yogyakarta selama tiga bulan. Yaitu aliran kepercayaan Pangestu dan Sapto Dharmo. Saya tidak sadar waktu itu bahwa saya sudah masuk dalam khasanah psikiatri dan psikologi budaya. Lima dimensi Falsafah Hidup Jawa yang harus saya ukur adalah Rila, Sabar, Narima, Andhap Asor, dan Prasaja. Hasil penelitian maenunjukkan bahwa pada kelompok orang tua, ada korelasi negatif antara skor falsafah hidup Jawa dengan derajat depresi yang saya ukur dengan BDI. Sedang pada kelompok anak muda, tidak didapatkan korelasi antara kedua variabel ini.

Delapan belas tahun kemudian, dimensi falsafah hidup Jawa ini kembali saya pakai untuk meneliti masyarakat Bantul korban gempa yang cepat bangkit membangun kembali dalam waktu setahun menjadi Bantul yang lebih indah dari sebelum kena gempa. Hasil penelitian kualitatif ini saya presentasikan dalam Kongress Psikoterapi Asia-Pasifik di Jakarta tahun 2008 yang bertema “Listening To The Hearts Of The East”. Berarti Kongress Psikoterapi ini juga kental psikiatri budayanya.

Buku makalah Semiloka Psikiatri Budaya tahun 1994 itu membuktikan bahwa pada waktu itu telah ada Kelompok Studi Psikiatri Budaya Budaya (KSPBJ-IDAJI) atau dengan nama keren The Indonesian Transcultural Psychiatry Association (ITPA) jauh sebelum kelompok-kelompok studi seperti psikiatri biologi, skizofrenia, psikoterapi, psikogeriatri , adiksi muncul. Tokoh-tokoh KSPBJ itu adalah seperti Kusumanto Setyonegoro, LK Suryani, Denny Thong, dan lain lain. Tapi sesudah itu tak terdengar berita maupun kegiatan dari KSPBJ yang sangat bagus ini.

Pada tahun 1999 saya mendapat permintaan dari Prof Byron Good, profesor antropologi budaya yang sering datang ke Yogya, untuk membahas makalah beliau tentang “First Episode Schyzophrenia” di berbagai negara yang dibacakan pada sebuah pertemuan kecil di Surakarta. Saya hadir di pertemuan itu, hanya dihadiri 30-40 psikiater, di ruang rapat lantai dua RSJ Kentingan Surakarta, sehari sebelum Kongress IDAJI tahun 1999 di Hotel Kusuma Sahid Surakarta dibuka.

Hadir dengan membawakan makalahnya rekan-rekan psikiater, seperti Rusdi Maslim dengan makalahnya tentang penganiayaan seksual terhadap etnis Cina dalam huruhara pembakaran di Jakarta, Denny Thong dengan makalahnya “Pendekatan Psikiatri Budaya dalam Penanganan Gangguan Jiwa di Sulawesi Selatan”, Robert Reverger dengan makalahnya tentang psikiatri budaya di Bali, dan Benny Ardjil tentang agresivitas pada suku di Kalimantan. Tentunya Prof Byron Good sendiri, dengan teman-temannya antropolog Amerika.

Saya membahas makalah beliau, antara lain, dengan satu “statement wasiat” dari Prof Suyono “bagaimanapun bila diagnosis skizofrenia sudah ditegakkan, itu berarti tidak mungkin sembuh total, dan bila kemudian bisa sembuh total berarti diagnosismu salah”. Tentu pembahasan saya ini ditentang Prof Byron yang sangat optimis membuktikan bahwa first-episode skizofrenia bisa sembuh total di negara-negara yang telah ditelitinya. Sekali edan tetep edan, tak bisa disembuhkan, kudu den singkiri (harus dihindari) juga merupakan konsep lokal dalam kesadaran kolektif masyarakat yang masuk lingkup kajian psikiatri budaya.

Seminar kecil dan sederhana tapi bermutu itu tentu saja tanpa sponsor, karena mana ada pabrik obat mau menyponsori seminar tentang culture-bond phenomen? Jadi tanpa honor pembicara, hanya coffe-break dan nyamikan tanpa makan siang, tapi berlangsung hangat dan penuh semangat.

Pada tahun 2006, terjadi “kesurupan masal” dimana-mana yang cukup mengejutkan dan disiarkan berulang kali oleh TV-TV swasta. Anak-anak perempuan satu kelas mendadak bertingkah aneh, menjerit, melolong, kejang-kejang, pingsan, mendelik-delik, tertawa, bersuara lain, secara hampir serempak, dalam pelukan gurunya masing-masing. Para calon dokter FK UMY kemudian merencanakan menggelar seminar tentang kesurupan masal ini dengan pembicara dua psikiater dan satu psikolog. Yaitu saya sendiri, sahabat saya Rusdi Maslim SpKJ, dan Prof DR Nurocman Dekan Fak Psikologi UGM.

Saya susah payah menyiapkan makalah untuk fenomena kesurupan yang tidak individual tapi serempak pada anak perempuan satu kelas ini. Tepat pagi hari jam 6.00 di hari seminar itu, terjadi gempa dahsyat yang mengguncangkan Bantul Yogyakarta dengan ribuan korban meninggal. Seminar jelas batal tak jadi dilaksanakan karena gedung tempat seminar itu doyong dan retak-retak berat. Sayang, andaikata seminar jadi dilaksanakan, tentu terjadi diskusi psikistri dan psikologi budaya yang menarik antara pembicara sendiri. Sampai sekarang tak ada lagi keinginan untuk mengadakan seminar tentang kesurupan masal dalam perspektif psikiatri dan psikologi budaya itu.

Pada tahun 2008 ini, dalam Kongress Psikoterapi di Jakarta, saya bertemu sahabat-sahabat saya psikiater seperti Denny Thong, Robert Reverger, Nalini, Benny Ardjil, dan Rusdi Maslim. Kepada mereka masing-masing saya sampaikan keinginan untuk mengadakan “reuni” pertemuan psikiatri budaya, sederhana dan kecil saja tanpa sponsor, masing-masing membawakan makalah kajian psikiatri budaya. Semua teman saya itu mengangguk mantap sambil mengacungkan dua jempol tangannya. Pertemuan pertama bisa dimana saja, Yogya, Solo, Magelang, Surabaya atau Denpasar. Semua bergairah, menunggu hal yang sudah lama ditunggu-tunggu, siap dengan makalah kajian psikiatri budaya masing-masing.

Tapi kemudian kami berpisah. Kembali pada kesibukan kerja masing-masing di kantor dan RS, praktek sore dan malam hari, dan ceramah-ceramah yang meletihkan. Minggu demi minggu dan bulan demi bulan
dan kami semua kembali dalam kesibukan masing-masing. Janji dengan acungan jempol itu "gone with the wind". Selang beberapa waktu kemudian sahabatsaya, dr Sigid, SpKJ, Direktur RSJ Surakarta, menawarkan. "Dianakke neng Solo we mas, neng Hotel Sahid, pa neng Aula RSJ, tak tanggung kabeh wis. Mesti sukses!", katanya. Tapi dua bulan kemudian dia meninggal dunia. Oh, sahabatku. Selamat jalan Gid, semoga kau disisi Tuhan sekarang. (inukeswa.wordpress.com; wicaksanamentalhealth.blogspot.com).

Sabtu, 06 Maret 2010

KRISIS MAKNA


Saya seorang priya, usia 45 tahun, berkeluarga dengan 3 anak, pengusaha bakpia dan makanan khas Jogya lainnya di Jogyakarta. Usaha bisnis yang telah saya jalani selama 20 tahun ini terbilang cukup maju. Tiap hari bus mini boks membawa bakpia dan makanan lain ke Klaten, Purworejo, Magelang, Salatiga, berjalan lancer. Demikian penjualan di dalam kota Jogya cukup sukses terutama di hari-hari libur tiga hari.

Istri saya duduk di kasir, mengatur keuangan, dan mengendalikan para pegawai yang berjumlah 20 orang. Saya mampu membuka cabang dua tempat di penggiran kota Jogya. Dua cabang inipun sukses dengan adik-adik saya yang duduk di Kasir. Akhirnya tak ada lagi yang bisa saya kerjakan.

Saya sudah mempunyai apa yang saya cita-citakan waktu muda dulu. Bisnis yang maju, rumah dan mobil lebih dari satu, keluarga yang baik, karyawan yang rajin. Tak ada tantangan lagi bagi saya. Semua pekerjaan telah terbagi habis dan berjalan lancer. Saya lalu mengalami kejenuhan, dan kebosanan. Lalu sering berpikir apa arti hidup saya ini? Apa makna hidup ini? Dalam kejenuhan seperti itu saya lalu main judi dengan teman-teman pengusaha. Judipun tidak terus-terusan menghibur. Ada titik kejenuhannya juga. Dapatkah dokter memberi saran tentang makna hidup ini dalam pandangan dokter?

PEMBAHASAN

Salah satu penyakit kejiwaan di dunia modern adalah “penyakit makna”, atau “krisis makna”. Ini bisa menimpa orang yang gagal dalam hidupnya, maupun orang yang sangat sukses seperti anda. Kehidupan yang individualistik, sangat rasional dan monoton, kemajuan teknologi dan informasi yang pesat, perebutan kedudukan, persaingan kerja yang tanpa akhir, redupnya nilai humanistic, ajaran agama yang penuh dogma dan larangan, pencarian kekayaan yang tanpa henti, politik yang gegap gempita, akhirnya akan melemparkan individu dalam kekosongan. Kehampaan. Lalu kita bertanya, apakah arti hidupku ini?

Salah satu cara yang paling umum yang ditempuh oleh kita yang kehilangan makna ini untuk mencari keutuhan adalah mendalami agama atau nilai relijiusitas tertentu, atau obsesi terhadap kesehatan. Yang pertama, misalnya, banyak orang barat yang pergi ke timur untuk mempelajari meditasi, yoga, dan zen. Atau di negeri kita banyak uztad yang dipanggil berceramah di hotel mewah untuk kalangan atas. Yang obsesi pada kesehatan, tertarik pada setiap mode kesehatan, diet vitamin, dan latihan kebugaran yang dijejalkan pada kehidupan yang serba sibuk. Sementara itu, arus utama pengobatan modern bersifat sangat Newtonian. Tubuh dilihat sebagai suatu mekanisme, sebuah mesin gen yang diminyaki dengan baik, penyakit sebagai sesuatu yang harus dimusnahkan atau diobati, ketuaan dan kematian sebagai “cacat” atau “musuh” sistem tubuh.


Namun, beberapa dokter dan profesional di bidang kesehatan telah mulai melihat penyakit secara berbeda. Mereka menganggapnya sebagai jeritan tubuh dan pemiliknya agar mendapatkan perhatian dalam hidup kita yang apabila ditinggalkan akan mengakibatkan kerusakan permanen, ketidakseimbangan fisik, emosi dan spiritual, bahkan kematian. Mungkin sikap atau gaya hidup kitalah yang mengakibatkan timbulnya masalah, bukannya ketidakseimbangan kimiawi.

Sebagian besar penderitaan kita, bahkan kondisi fisik yang kronis, merupakan “penyakit makna”. Kanker, penyakit jantung, Alzheimer, dan gangguan lain yang mungkin didahului oleh depresi, rasa lelah, alkoholisme, dan kecanduan obat adalah bukti dari krisis kekosongan makna yang masuk ke dalam sel-sel tubuh kita. Pada akhirnya kematianpun dialami dengan rasa sakit dan kengerian, sebab kita tidak memiliki konteks makna untuk menempatkan akhir alamiah hidup ini. Tidak ada jalan untuk mati dengan damai, penuh rachmat dan berkah.

Nilai-nilai, hakekat, atau makna hidup inilah inti filsafat Victor Frankle, seorang psikiater besar dari Wina yang hidup di jaman Freud, seabad yang lalu. Ia disekap dalam kamp knsentrasi Nazi Jerman bersama seluruh keluarganya. Ia disiksa, dibiarkan kelaparan, disuruh kerja paksa, anak istrinya dibunuh. Tapi ia tetap hidup. Justru karena itulah ia menemukan makna hidupnya. Nazi Jerman boleh mengkerangkeng dia, menyiksa habis seluruh tubuhnya dan membunuh seluruh keluarganya, tapi mereka tak bisa mencengkeram jiwa dan pikirannya. Kebebasan jiwa dan pikiran yang melayang bebas bersama Tuhannya inilah makna hidup Victor Frankle.

Makna hidup bisa bersifat umum dan universal, tapi bisa pula sangat sederhana, unik, spesifik dan sangat pribadi bagi kita masing-masing. Menyembuhkan total seorang pecandu yang sudah menyuntik dirinya dengan heroin selama 12 tahun tentu suatu makna hidup yang sangat bernilai bagi saya. Demikian pula “menyadarkan kembali” pecandu overdosis yang sudah koma selama 3 jam. Atau berhasil menyambung kembali tangan putus yang sudah terlempar di jalan berdebu tentu makna hidup yang tak ternilai bagi sahabat saya Rahardian, si dokter bedah tulang yang hebat itu. Penghargaan orang, imbalan uang, penilaian atau ganjaran dari Tuhan tidak penting dalam konteks makna ini. Makna hidup adalah tanpa pamrih. Makna hidup adalah untuk makna hidup itu sendiri.

Jadi bila anda yang sukses dan berkecukupan kebingungan mencari makna hidup, cobalah mencari hal yang sederhana saja. Buatlah hidup anda berguna bagi orang lain. Kerjakanlah suatu pertolongan bagi orang lain yang sangat membutuhkan. Membelikan baju dan celana berikut uang saku bagi 50 anak panti asuhan yatim piatu tiga hari menjelang Lebaran mungkin bisa menjadi makna hidup yang sangat berarti bagi anda. Atau membiayai 70 anak dari Gunung Kidul yang putus sekolah untuk bisa melanjutkan pendidikan ke SMK-SMK di Jogya, berikut asrama dan biaya hidupnya, mungkin menjadi makna hidup yang tak ternilai. Tidak usah dengan wawancara atau pidato di TV sehingga orang lain tahu. Makna hidup sejati adalah yang tak diketahui orang lain, hanya anda sendiri yang merasakan, menghargai dan menikmatinya (inuwicaksana.blogspot.com)****

Jumat, 19 Februari 2010

ASPEK MENTAL DAN PERILAKU PADA KLIMAKTERIUM


Hurlock (1980) membagi tahap perkembangan kehidupan manusia menjadi prenatal, masa bayi baru lahir, masa bayi, awal masa anak, akhir masa anak, masa pubertas,, masa remaja, masa dewasa dini, masa dewasa madya, dan masa dewasa lanjut atau lansia. Masa dewasa dini dimulai umur 18 tahun sampai kira-kira 40 tahun, saat mulai perubahan-perubahan fisik dan psikologis yang menyertai berkurangnya kemampuan reproduktif. Masa dewasa madya dimulai umur 40 tahun sampai 60 tahun, yakni saat menurunnya kemampuan fisik dan psikologis yang jelas pada setiap orang, dan masa dewasa lanjut yang dimulai usia 60 tahun sampai kematian.

Seperti halnya setiap periode dalam rentang kehidupan, usia dewasa madya ( masa paruh baya/ half life period) mempunyai karakteristik tertentu yang membuatnya berbeda yaitu :
1. Masa yang “ditakuti” karena pada masa ini terjadi klimakterium pada wanita maupun pria, menurunnya kemampuan seksual, berbagai mithos berhentinya produksi, kerusakan mental, dll.
2. Masa transisi : pria mengalami perubahan keperkasaan dan wanita perubahan kesuburan, dari cirri-ciri dan perilaku dewasa ke lansia.
3. Masa stress : penyesuaian radikal terhadap peran dan pola hidup yang berubah, disetai berbagai perubahan fisik. Stres somatik, stress budaya, stress ekonomi, dan stress psikologik.
4. Masa “berbahaya” : orang berusia madya berusaha mencari kegiatan atau pengalaman baru, missal hubungan ekstramarital, penggunaan zat adiktif, kekerasan mumpung belum tua.
5. Masa berprestasi : menurut erikson, selama usia madya orang akan lebih sukses sampai ke puncak prestasi hidupnya, atau sebaliknya akan berheti dan tidak mengerjakan sesuatu apapun lagi.
6. Masa evaluasi : karena sampai masa puncak prestasinya, orang mengevaluasi diri apakah sesuai dengan cita-citanya atu harapan orang lain terhadapnya.
7. Masa sepi (sindrom kehampaan, emptiness syndrome) : dengan keluarnya anak terakhir di rumah, orang merasa sepi dan hampa. Juga orang dalam kesibukan penuh di puncak prestasinya, sering mengalami kesepian dan kehampaan.
8. Masa jenuh : pada usia 40 an pria merasa jenuh degan pekerjaan rutin dan kehidupan bersama keluarga yang hanya memberikan sedikit hiburan. Wanita juga jenuh dengan kesibukan memelihara keluarga dan membesarkan anak-anaknya.

Suatu periode penting yang terjadi pada masa dewasa madya ini adalah periode klimakterium, yang terjadi pada pria maupun wanita (menopause).


PERIONE KLIMAKTERIUM PADA WANITA (MENOPAUSE)

Setelah mengalami menstruasi sejak usia pubertas dan berlangsung terus selama masa subur (produktif), wanita akan sampai pada penurunan fungsi hormonal yang mengakibatkan menurun dan berhentinya menstruasi. Dengan berakhirnya haid, proses ovulasi dan pembuahan sel telur juga berhenti. Segenap aparat kelenjar mengalami hambatan pengurangan aktivitasnya. Organ kelamin turut mengalami proses atrofi, menjadi kisut dan mundur fungsinya. Akhirnya, segenap bagian tubuh lambat laun menampakkan gejala ketuaan. Fese demikian ini pada wanita disebut menopause (men = bulan, pause = berhenti).

Fase menopause disebut pula sebagai periode klimakterium (climacter = tahun perubahan/pergantian tahun yang berbahaya). Menopause merupakan peristiwa fisiologis alamiah. Terjadi setelah berhentinya menstruasi selama 1 tahun. Biasanya, menstruasi mulai berkurang (taper off) selama 2-5 tahun, paling sering antara umur 48 – 55 tahun, rata-rata pada umur 51,4 tahun. Kaplan & Sadock (1991) menyebutkan berbagai gejala psikologis menopause, seperti kecemasan (anxietas), lemah (fatique),ketegangan, labilitas emosional, iritabilitas, depresi, pusing-pusing, dan sukar tidur (insomnia).Tanda dan gejala fisik adalah berkeringatan malam hari (night sweats), flushes dan hot flashes. Yaitu persepsi mendadak rasa panas di leher dan tubuh yang disertai keringatan atau perubahan warna kulit kemerahan. Penyebab dari hot flashes ini kemungkinan karena menurunnya sekresi luteinizing hormone (LH).

Menopaus secara alamiah terjadi karena menurunnya sekresi hormone kewanitaan, terutama hormon oestrogen. Penurunan ini menyebabkan atrofi (pengisutan) dan pengeringan mukosa vagina, sehingga sering terjadi vaginitis (radang vagina), pruritus (gatal-galat), dispareuni (nyeri waktu hubungan seksual), dan stenosis. Perubahan-perubahan system hormonal ini mempengaruhi segenap konstitusi psiko-fisiologik sehingga berlangsung proses kemunduruan yang progresif. Karena itu periode klimakterium atau menopause disebut “periode krisis” karena perubahan dan kemunduran yang terjadi mengakibatkan krisis-krisis dal kehidupan psikis pribadi seseorang.

Menurut Helena (1973), klimakterium ini diawali dengan satu fase pendahuluan atau fase preliminer yang menandai satu proses “pengahiran”. Munculah tanda-tanda abtara lain :
1. Menstruasi menjadi tidak lancer atau tidak teratur, datang dalam interval waktu yang lebih lambat atau lebih awal.
2. Haid yang keluar banyak sekali, atau malah sedikit sekali.
3. Muncul gangguan vasotoris berupa penyempitan atau pelebaran pembuluh darah.
4. Merasa pusing-pusing, sakit kepala terus menerus.
5. Berkeringat terus-terusan.
6. Neuralgia atau nyeri syaraf terus-terusan.

Semua gejala ini adalah fenomena klimakteris, akibat perubahan fungsi kelenjar hormonal. Terjadi pula erosi kehidupan spikis, sehingga terjadilah krisis yang terwujud dalam gejala-gejala psikologis seperti : depresi (kemurungan), mudah tersinggung dan meledak marah, banyak kecemasan, sulit tidur, sukar tidur karena bingung dan gelisah. Gejala-gejala ini dapat dianggap sebagai “jeritan minta tolong” agar wanita tersebut masih diperbolehkan meneruskan aktivitasnya.

Klimakterium dapat dibagi menjdi dua tahap, yaitu :
1. Tahun-tahun dimana menstruasi sudah tidak teratur, sering terganggu, atau terhenti sama sekali , namun organ endrokrin seksual masih terus berfungsi.
2. Tahap kedua adalah berhentinya secara definitif organ pembentuk sel telur. Berhentinya lembaga kehidupan.

Tahap pertama disebut masa pra-klimakteris, biasanya dibarengi aktivitas-aktivitas pra-klimakteris. Ditandai dengan gejala meningkatnya nafsu hubungan sesual. Sekaligus muncul kegairahan berjuang yang menyala-nyala seperti dimasa puber. Karena itu dimasa ini sering timbul tingkah laku yang aneh-aneh, atau tidak sesuai dengan atribut ketuaan. Masa pra-klimakteris ini mirip sekali dengan masa pubertas, karena itu disebut pubertas kedua. Sedang periode klimakterium sendiri banyak kemiripannya dengan periode pubertas . Tingkah laku orang pada periode ini sering lucu, aneh-aneh, janggal atau tidak pada tempatnya. Misalnya wanita kaya dan gemuk memakai rok mini atau rok panjang merah belah pinggir tinggi. Tingkah laku yang ”berlebihan” tersebut bermaksud untuk :
1) Mengingkari ketuaannya dan ingin mengulangi kembali pola kebiasaan di masa muda.
2) Menimbuni dirinya dengan pakaian dan perhiasan warna-warni serta macam-macam bahan kosmetik, agar kelihatan masih ”remaja”.

Kemunduran aktivitas organ endrokrin menyebabkan lapisan lemak dibawah kulit jadi menebal, kulit kehilangan gaya regangnya jadi mengeriput. Tidak hanya pada segi jasmani saja terjadi kemunduran, tapi juga fungsi-fungsi psikis dan kepribadian, seperti daya pikir, daya ingat, vitalitas, pendengaran, penglihatan, toleransi terhadap stres, dll.
BEBERAPA GANGGUAN PADA PERIODE KLIMAKTERIUM

Seperti juga pada usia pubertas , pada periode klimakterium ini sering terjadi gangguan lambung dan alat pencernaan, kepekaan kelenjar gondok (hyperthyroidisme), gangguan pigmentasi kulit, gangguan penyempitan/ pelebaran pembuluh darah, dermatis (eksim),dll.

Stressor psikososial yang dialami wanita masa ini :
• Takut kehilangan fungsi dan ekssistensi sebagai wanita
• Kehilangan gairah dan menurunnya fungsi seksual
• Takut tidak bisa memuaskan atau melayani suami
• Takut kehilangan kasih sayang atau suami mencari wanita lain
• Kehilangan kepercayaan diri dan rendah diri
• Tidakbisa tampil baik mendampingi suami yang meningkat kariernya
• Minder ketemu orang, cenderung ingin dirumah saja
• Ingin mengingkari dan memprotes proses biologis yang mengarah pada ketuaan
• Terlampau mendramatisir proses ketuaan
• Merasa hidupnya kini tak mengandung harapan dan dilupakan orang
• Kemunduran biologis dirasakan sebagai mendekatnya kematian, sehingga tak ada gunanya lagi terus hidup

Stressor yang bersifat ”kehilangan” dan ”tidak berguna lagi” akan menimbulkan gangguan depresi, yang bisa bertaraf sedang sampai berat dengan gejala : murung atau sedih berkepanjangan, merasa hancur, putus asa, tak bergairah, merasa tidak tertolong lagi, nihilistik, lungrah/berat di pagi hari, nafsu makan kurang, terbangun 2 jam lebih awal tak bisa tidur lagi, rendah diri dan menarik diri, tak bisa menikmati hidup (anhedonia), tak bergairah hidup, mudah curiga dan mudah tersinggung.

Stressor ini bisa dipersepsi pula sebagai ”akan hilang” atau ”takut kehilangan” dan ini akan menimbulkan anxietas, atau gangguan cemas menyeluruh, yang ditandai dengan gejala-gejala was-was terus akan terjadi musibah, tegang, berdebar-debar, berkeringat banyak, tangan kaki dingin-dingin, mual-mual, kerongkongan seperti tersumbat, gemetaran, lemas, selalu ingin kencing, sakit perut terus-terusan, sulit tidur dan mimpi-mimpi buruk. Depresi dan kecemasan ini bisa berlangsung berbulan-bulan, dan akan bisa mereda sendiri bila individu telah mencapai taraf adaptasi baru, yaitu sebagai wanita yang telah menopause.

Jika pada usia pubertas sudah pernah muncul predisposisipsikosomatik, gangguan kepribadian dan nafsu petualangan, atau kecenderungan histeris, maka pada usia klimakteris ini predisposisi itu dapat muncul kembali. Biasanya dalam bentuk ide-ide delirius (tidak realistis). Ada kalanya juga timbul semacam kegairahan seksual yang luar biasa. Banyak wanita yang dulu selama periode produktif dingin secara seksual, pada masa klimakteris malah menjadi mengebu-gebu. Tapi ada pula wanita yang selama periode produktif memiliki seksualitas yang normal, pada usia klimakteris mengaji dingin –beku secara seksual.

Semua gejala yang mengganggu itu pada umumnya diiringi suasana hati yang cepat berubah-ubah. Ia menjadi sangat sulit, banyak menuntut, rewel, gelisah, cerewet, jorok, tidak bertanggung jawab, egosentris, arogan, dan menjadi beban sosial di sekelilingnya. Hubungan sosial wanita-wanita klimakteris seringkali juga mengalami perubahan. Persahabatan yang dulunya harmonis, menjadi retak berantakan oleh rasa iri hati, cemburu, ketakutan-ketakutan atau panik tanpa sebab yang jelas. Wanita-wanita itu suka mencari setori, menggugah pertengkaran dimana-mana sehingga relasi sosial menjadi patologik sifatnya. Ada kalanya terjadi ledakan-ledakan emosional yang paranoid sifatnya, sebagai produk dari semakin intensifnya konflik-konflik intrapsikis pada periode klimakterium.

Muncul pendapat bahwa sekalipun proses strerilitas pada masa klimakteris sudah berlangsung, rupanya wanita tersebut dengan gigih ingin mempertahankan kapasitas reproduksi dan ”kemudaannya”. Mose-mode terbaru , alat kosmetik dan bedah plastik yang mahal serta kekayaan nempaknya banyak mendorong wanita-wanita setengah tua ini bertingkah laku seperti seperti anak puber. Delusi-diri ( citra diri yang distortif) yang narsistis seakan-akan ingin menampilkan ”keremajaan diri”nya. Sikap memberontak terhadap proses ketuaan membuat diri menjadi naif dan lupa daratan.

Pada masa klimakterium, tendensi-tendensi feminitas yang selama ini ditekan kuat, mulai menampilkan ”haknya”. Terjadilah konflik batin antara tendensi feminitas melawan kecenderungan maskulinitas. Jika pertentangan ini semasa kehidupan purbertas dan produktif tersublimasikan dengan baik, pada masa klimakterium sering gagal. Wanita tersebut sering sakit-sakitan karena berkurangnya daya tahan terhadap konflik, sedang katahanan fisik dan psikis menurun.


PERIODE KLIMAKTERIUM PADA PRIA

Pada pria periode ini adalah masa transisi dari dewasa ke tua dimana produksi hormon testoterum mulai menurun, tetapi sulit untuk memperkirakan secara tepat kapan sebenarnnya produksinya benar-benar telah mulai menurun. Menurut Bowskill & Linacre (1978) yang dimaksud dengan klimakterium adalah masa dimana gejala-gejala klimakterium terjadi dan juga dimana terjadi perubahan penyesuaian intelektual dan emosional dari maturitas ke usia lanjut. Pada banyak pria mulai ada reaksi neurotik seperti impotensi dan gangguan subyektif yang semuanya tidak bisa diobati dengan androgen.

Kebanyakan pria menjali masa transisi ini tidak karena kekurangan hormon, perubahan yang utama adalah pengaruh kebiasaan berpikirnya yaitu khawatir tentang ambisi yang tidak bisa dicapainya, khawatir tentang hasrat seksualnya yang menurun dan khawatir tentang istri mereka yang menopause. Menurut Hurlock (1980) masa ini adalah masa transisi, masa penyesuaian kembali, masa equilibrium-disequilibrium. Masa yang ditakuti karena mendekati masa tua. Nama untuk masa ini cukup banyak, antara lain usia pertengahan, paruh baya, dewasa madya, male-menopause, tahap varilitas, dan menut istilah awam masa ”puber kedua” atau ”remaja ke dua”.

Batasan umur masa ini juga bervariasi antara 40 -65 tahun, atau menurut Montgomery masa ini terjadi pada usia sekitar 55 – 65 tahun, jarang pada usia yang lebih muda. Sedang menurut Rumke kurang lebih berkisar antara 40 – 55 tahun. Pada hakekatnya periode ini merupakan masa krisis kejiwaan yang disebabkan adanya peralihan dari periode dewasa yang penuh kemantapan (dalam pekerjaan, kedudukan, kesehatan, ekonomi, kehidupan keluarga) ke periode tua yang serba tidak jelas, meragukan, dan kadang mengerikan (menghadapi pensiun, anak-anak mulai dewasa dan meninggalkan orang tua, mulai sakit-sakitan, dsb).

Gejala-gejala yang mungkin terjadi pada pria dalam masa ini :
1. Vasomotor : hot flushes, kedingan , berkeringat, berdebar-debar, denyut nadi bertambah, nyeri kepala.
2. Psikis : gelisah, mudah marah, insomnia, depresi, rendah diri, tendensi antisosial, mudah menangis, keinginan bunuh diri, anorexia.
3. Konstitusi : lekas capai, nyeri otot, kejang otot, arthralgia, mual muntah, nyeri perut, konstipasi, berat badan menurun.
4. Saluran kencing : kekuatan dan besar pancaran berkurang.
5. Seksual : berkurang libido.

Gejala-gejala yang sering terjadi adalah depresi, impotensi dan libido menurun. Sebagai akibat dari penolakan masa tua ini, mungkin mereka akan malakuakan perbuatan/perilaku antara lain :

• Menjadi lebih senang berdandan (pesolek, mematut-matut diri)
• Suka mengagumi diri sendiri
• Minta banyak perhatian dan dukungan orang-orang sekitarnya
• Ingin membuktikan kejantananya (pada wanita-wanita lain)

PENATALAKSANAAN DISTREESS MENOPAUSE
Psikoterapi individual dan terapi kelompok

Psikoterapi individual analistis-supportif dikerjakan supaya wanita bisa mengeluarkan seluruh konflik-konfliknya di masa krisis menopause, untuk meredakan ketegangan-kecemasan, bisa memandang problem-problemnya sendiri, dan bisa menerima keadaan alamiahnya. Terapi kolompok dilaksanakan dimana sekelompok wanita dengan problem yang sama bisa saling berdiskusi dan berbagi rasa, dipandu oleh seorang terapis (psikolog/psikiater).

Tujuan utama penatalaksanaan ini pada prinsipnya \, adalah :
• Upaya regisnasi, yang berarti sumeleh, pasrah, sumarah, tawakal, yang merupakan cara menghadapi krisis klimakterium tanpa proses dan kecemasan/ketegangan.
• Upaya penyadaran untuk mau dan mampu menerima kondisi alamiah menopause sebagai hal yang harus dialami setiap insan wanita
• Supaya wanita bisa melihat segi-segi positif kehidupannya, dan mengapresiasi nilai-nilai positif pengalaman hidupnya sampai saat itu.
• Meningkatkan maturitas (kematangan) kepribadian, untuk mampu mengendalikan diri, mampu mengatasi gangguan-gangguan fisik dan psikis yang muncul dengan menyalurkan keresahan batin pada tidakan-tindakan intelektual produktif dan kreatif,

Terapi organobiologik-medikamentosa

Bila diperlukan untuk menetralisir depresi dan kecemasan secara cepat, obat-obat psikotropik antridepresan dan anti cemas (anxiolitik) bisa diberikan dalam 2 minggu sampai 3 bulan, dengan dosis semakin diturunkan. Diharapkan setelah itu wanita bisa bereaksi secara normal dalam kehidupan keseharian dan menjalani masa klimakteriumnya secara wajar dan nyaman.

Terapi hormonal bisa diberikan oleh dokter spesialis kandungan/ kebidanan, berupa Oestrogen Cream untuk membasahi mukosa vagina yang kering sehingga tidak nyeri dalam hubungan seksual, bisa pula diberikan hormon stimulan.

Mencegah Distress Menopause secara pribadi dalam keluarga

1. Menyadari sepenuhnya dan bisa menerima dengan ikhlas menopause/klimakterium sebagai hal alamiah yang harus dialami setiap manusia.
2. Penyesuaian diri yang sebaik-baiknya masa klimakterium dan masa mulai tua.
3. Dialog penuh pengertian suami- istri tentang masa klimakterium dan masa tua sehat lahir – batin.
4. Mempertahankan tetap berlangsungnya hubungan suami istri sesuai usia agar tetap harmonis.
5. Menjaga kesehatan, kondisi fisik yang prima sesuai usia, senam kebugaran, olah raga untuk dewasa madya dan lansia.
6. Menyalurkan konflik intrapsikis dalam berbagai kegiatan sosial dan intelektual, aktif dalam organisasi sosial, terjun dibidang politik, dll.
7. Menyadari sudah bebas dari kehamilan dan mengasuh balita, bisa menggali kembali interest dan bakat artistik di masa muda, seperti melukis, foto grafi, menulis cerpen/novel/puisi, main musik, paduan suara, desain dan menjahit, ketering/masak-memasak/, home handicraft, membaca buku filsafat/ kebudayaan,keagamaan.
8. Karena Freud memandang pubertassebagai ”edisi ketiga dari periode infantil”, maka pada masa ini hubungan keakraban dengan anak-anak yang sudah dewasa ditingkatkan dan kelahiran cucu-cucu disambut dengan penuh kegembiraan.
9. Menjaga perawatan diri supaya meski mulai menua tetap tampil anggun dan cantik untuk menjaga kepercayaan diri.
10. Penghayatan keagamaan dengan kepasrahan diri pada Tuhan, atau dengan falsafah jawa : rilo, sabar, narima, andhap-asor, dan prasaja untuk menghilangkan depresi karena menopause/klimakterium.


DAFTAR PUSTAKA


1. Bowskill.D & linacre,A (1978). The Male Menopause, Pan Books
2. Deutch. Helena (1973) Psycholoy of women, A psychoanalytic inter Pretation, Vol.II Motherhood, Batam
3. Hurlock E.B. (1980) Developmental psychology A Life-Span Aproach 5
Ed,McGraw-Hill,Inc.
4. Kaplan.H.I. & Sadock,B.J. (1991) Synopsis of psychiatry, Behavioral Sciences & Clinical psychiatry, 6 “ Ed. Williams & Wilkins New York.

Selasa, 16 Februari 2010

KELEMBUTAN HATI (kkj krm 08)



Saya seorang laki-laki, usia 30 tahun, sarjana ekonomi, bekerja di satu perusahaan swasta, ingin berkonsultasi tentang masalah saya di tempat kerja. Saya baru dua tahun bekerja di perusahaan ini, diterima dari sakian banyak pelamar. Ternyata setelah bekerja saya tidak cocok dengan kebijakan atasan saya, manajer utama. Saya pandang keputusan-keputusannya tidak efektif untuk peningkatan kinerja perusahaan. Dan ia memakai prinsip tujuan menghalalkan segala cara. Sering kebijakannya tidak etis dan tidak jujur, selalu mengelabui banyak orang. Saya tidak setuju dengan cara-cara itu. Tapi dia mempunyai banyak pendukung, orang-orang penjilat yang ingin mencari fasilitas dan keuntungan pribadi.
Saya muak dan tidak senang dengan orang-orang “oportunis” itu. Juga sebel dengan situasi di tempat kerja yang diciptakannya. Keputusan-keputusan manajer utama diambil setelah rembugan dengan pendukung-pendukunya yang di luar sistem, tidak diskusi dengan manajer-manajer yang lain. Rasa tidak suka, benci dan muak itu sering menimbulkan nyeri dada pada saya, disertai pusing sebeleh, kadang sesak napas. Kemungkinan saya depresi karena keadaan kantor yang menekan ini karena mau keluar juga sayang, sukar sekali bisa diterima di perusahaan lain. Apakah solusi dan saran dokter terhadap saya?
BbS di Yogyakarta.
Saudara BbS yang baik,
Memang depresi bisa terjadi bila seseorang mengalami suatu tekanan dalam hidupnya yang berada di luar kemampuannya untuk mengatasi dan ia tidak bisa berpaling atau menghindari tekanan itu. Anda orang baru dan atasan anda telah lebih lama bekerja di tempat itu dan menjadi pimpinan yang tidak bisa anda lawan sebagai anak buah. Satu-satunya jalan adalah keluar dari perusahaan itu dan ini juga tidak mungkin karena mencari tempat kerja yang lain sangat sulit. Cara lain adalah menerima keadaan itu dan ini tidak sesuai dengan nurani anda.
Sebuah contoh adalah prajurit yang harus membakar desa dan membunuh rakyat sipil karena perintah dari jendralnya supaya desa itu tidak bisa dipakai sebagai persediaan makan musuh. Si prajurit meski sangat tidak setuju dengan perintah atasan, tidak bisa melawan, ia toh harus melakukan perintah itu, meski ia tidak membunuh tapi menawan dan melumpuhkan rakyat sipil dan anak-anaknya. Ia toh sudah menjalankan perintah itu “melumpuhkan desa tempat gudang makanan musuh”. Demikianlah anda bisa melaksanakan keputusan dan kebijaksanaan pimpinan, tapi tidak melakukan cara-cara yang tidak etis tersebut. Anda melaksanakan dengan jujur dan lurus sesuai dengan hati nurani anda, meski akibatnya anda tidak disukai bahkan dimusuhi oleh atasan anda dan orang-orangnya. Biarlah. Yakinlah bahwa perusahaan masih membutuhkan orang-orang jujur dan lurus seperti anda. Atasan anda juga tak bisa mengeluarkan anda dengan alasan tidak 100% menjalankan perintah, ayau perintahnya sedikit diselengkan. Anda juga, dalam batas-batas tertentu, mampu beradaptasi dengan lingkungan kerja anda. Dengan begitu anda bisa “menerima” keadaan anda di tempat kerja itu. Hanya ini yang bisa menghilangkan depresi anda.
Bila anda benci, jengkel dan muak terhadap atasan anda dan para pengikutnya itu, hal ini akan mengakibatkan nyeri dada dan pusing pada anda sendiri. Berarti anda “sakit”, sama sakitnya dengan rekan-rekan kerja anda yang “oportunis” itu. Banyak ahli berpendapat rasa benci, jengkel, iri, curiga, muak, itu adalah kekotoran batin yang merupakan penyakit diri sendiri yang sukar disembuhkan. Itu adalah penyakit yang sesungguhnya. Maka, seseorang disebut sembuh secara spiritual bila sadar bahaya kekotoran batin tersebut. Kesadaran itulah penjaga hati. Kesadaran ini akan menimbulkan kesabaran, yang akan menghilangkan kekotoran batin tersebut.
Dalam dunia sekarang yang banyak berlimpahan tekanan, tindakan menyeleweng yang tidak sesuai dengan nurani, kekerasan dan ketidakpedulian, dibutuhkan banyak penyembuh. Gede Prama, seorang motivator ulung, membagi tiga tipe penyembuh, yaitu raja, kapten kapal, dan penggembala domba. Dalam tipe raja, sesorang bisa menyembuhkan bila sudah tersembuhkan. Dalam tipe kapten kapal, kita berlayar bersama dan sampai di di tanah penyembuhan bersama. Dalam kehidupan penggembala domba, ia harus yakin bahwa semua domba bisa makan, baru kemudian gembala itu makan bagi dirinya sendiri. Pola penggembala domba adalah yang paling mulia sekaligus paling mulia dilakukan banyak orang. Tidak perlu tersembuhkan dulu hanya untuk melakukan apa yang ditugaskan kehidupan sebaik-baiknya.
Ia yang menyediakan hidupnya untuk penyembuhan pihak lain suatu saat tidak saja ikut sembuh dan damai, tetapi juga mengalami ultimate healing (pencerahan). Meminjam bahasa orang bijak : “dalam memberi, manusia tersembuhkan”. Dengan demikian, orang biasa juga juga bisa membuat seusatu yang berbeda dengan membuat dirinya terhubung melalui pemberian dan perhatian. Karena itulah Obama bisa sukses terpilih sebagai presiden karena moto dasar kampanyenya : “to care each other”.
Seorang ahli di barat berpendapat : “The most significant step one can maketoward global peace is to soften our heart”. Membuat hatimenjadi lembut, itulah peran terbesar yang bisa diberikan pada perdamaian kehidupan umat manusia. Hasilnya, manusia bisa terhubung dengan banyak kehidupan yang teduh sekaligus menyentuh.****

Rabu, 10 Februari 2010

KONFERENSI NASIONAL II PSIKOLOGI KLINIS DI JOGYA PLAZA FEB 2010




HUBUNGAN DAN KERJASAMA YANG ERAT, MESRA DAN HARMONIS ANTARA PSIKOLOG KLINIS DAN PSIKIATER. Itulah yg mengemuka dari keseluruhan kegiatan ilmiah Konferensi Nasional II Ikatan Psikologi Klinis - HIMPSI di Jogya Plaza Hotel 5-6 Feb 2010 kemarin.
Menurut Prof DR Yohana Perwitasari, SPsi, para praktisi di bidang pelayanan kesehatan mental itu haruslah bisa : BEKERJA, BERMAIN, DAN BERCINTA. Waduh, waduh, setuju.
Menurut Prof Sawitri Supardi Sadarjoen dlm sambutan pidato pembukaan Konas, hubungan yg erat dan harmonis antara psikolog klinis dan psikiater sudah terjadi di Surabaya, dan Jogyakarta. Di Bandung dirasa masih ada "friksi".
Lalu bagaimana dgn kota0kota lain? Di Semarang, dan di Magelang? Wah saya rasa sudah cukup mesra ya? ..... Malah sudah bercinta tiap hari sehabis kerja........waduh, hahaha, hopo iyo.......hahaha....
... See More
Dalam Konas yang bertema : INTERVENSI PSIKOLOGIS UNTUK MENINGKATKAN KUALITAS HIDUP MASYARAKAT INDONEISA" ini para psikolog klinis menampilkan sederetan makalah ilmiah a.l. : Stres, Koping, Kualitas hidup, anxiety, depression pada pend Lekemia Limfoblastik Akut, Gagal Ginjal, Coronary Heart Desease, Diabetes Mellitus Tipe II, Hipertensi, TBC, Menopouse, Tun Daksa, Gempa Bantul, dll. Terlalu sayang bila para dokter, dan psikiater tidak melihat penampilan para psikolog klinis ini.
Sedang beberapa psikiater yang tampil berparsipiasi aktif dalam presentasi ilmiah di Konas Psikologi Klinis ini adalah :

=dr. Nalini Muhdi, SpKJ(K), dgn makalah : KUALITAS HIDUP PADA PERIMENOPAUSE"
=dr. Sasanti Yuniar, SpKJ(K), dgn makalah : "UPAYA INTEGRATIF DALAM PENANGANAN KASUS PATOLOGI ANAK"
=dr. Inu Wicaksana, SpKJ(K), dgn makalah : "PSIKOTERAPI DINAMIK SUPORTIF-EKSPRESIF PADA PECANDU HERTOIN SUNTUK DI JOGYAKARTA".

Nah, selamatlah teman-temanku psikolog. Impianku 10 tahun yg lalu, yg kutuliskan dalam artikel di buku Kenang-Kenangan Reuni HIMPSI tahun 2000an, tentang psikolog masuk Puskesmas dan RSUD Kabupaten, terealisir sudah sekarang. Sejak Th 2009 ini para psikolog sudah diterima sebagai PNS di Puskesmas-Puskesmas dan RSUD Kabupaten seluruh Indonesia. Mudah-mudahan semuanya bisa menjadi mitra dan partner kerja yg baik bagi para dokter dan perawat dimanapun berada. Semua kasus fisik sangat sarat dengan faktor2 psikologis.

Dalam gambar diatas nampak :
(1) dr Sasanti Yuniar SpKJ(K) dgn psikolog RSJM : Arum
(2) Bu Nida, Psikolog UGM, bersama murid2nya psikolog SII UGM
(3) Bu Kwartarini Pimpinan Jurusan Endogenous (Cultural) Psychology, bersama murid2nya, Mutiara dan kawan2 SII Psikologi, dan saya.
(4) Adik2 SII Psikologi yg pernah praktek klinis di RSJM, Mutiara, dkk.
Mon at 7:17pm ·

Jumat, 25 Desember 2009

KUNCI KEBAHAGIAAN

Kebahagiaan terletak dalam otak dan pikiran. Dalam reaksi kita terhadap semua peristiwa atau keadaan yang menimpa kita. Bila reaksi kita ikhlas, karena semua itu adalah kehendak Tuhan, kita hadapi dengan respons positif, sambil mengatakan “Terima kasih Tuhan, saya tetap bahagia” maka bahagialah kita sekarang. Bukan “saya akan bahagia”, tapi “saya bahagia”, berarti “sekarang”. Tapi jelas jawaban ini terlalu pendek dan belum bias meyakinkan anda atau membuka kesadaran anda. Baiklah, saya berikan contoh, perbuatan, omongan, atau tulisan, orang-orang ternama yang berhasil dan bahagia dalam hidupnya.

Salah satu penyebab yang paling umum dari orang-orang yang mengatakan dirinya tidak bahagia adalah bahwa mereka berupaya menjalani kehidupan secara tertunda. Mereka tidak hidup, dan tidak menikmati kehidupan itu sekarang, melainkan menundanya hingga di masa yang akan dating. sehingg“Kita tidaklah pernah hidup, melainkan hanya berharap hidup, dan selalu menanti-nantikan agar kita bahagia, akibatnya kita tidak pernah bahagia”, kata filsuf Pascal.

Mereka akan bahagia setelah menikah nanti, setelah direimanya menjadi PNS dengan gaji 2 juta sebulan, setelah rumah mereka lunas, setelah punya mobil sendiri, setelah diangkat menjadi direktur, atau setelah anak-anak selesai kuliah, setelah mencapai prestasi atau kemenangan tertentu. Pasti mereka akan kecewa. Kebahagiaan adalah kebiasaan mental, sikap mental, dan kalau tidak dipelajari dan dilatih sekarang, kebahagiaan itu takkan pernah dialami. Kebahagiaan itu tidaklah dapat dicadangkan untuk nanti, setelah memecahkan masalah tertentu atau mencapai sesuatu. Ketika masalah itu terpecahkan, akan timbul masalah lain yang lebih rumit. Kehidupan adalah serangkaian masalah macam kisah sedih yang tak pernah berakhir. Kalau anda ingin bahagia, anda Harus Bahagia – titik! – bukan bahagia “karena”, atau “bila”, atau “kelak jika”.

“Kebanyakan orang itu menjadi bahagia sejauh mereka putuskan sendiri bahwa mereka bahagia”, kata Abraham Lincoln..

“kebahagiaan itu murni internal”, kata psikolog Dr Matthew N. Chappel. “kebahagiaan itu dihasilkan bukan oleh obyek, melainkan oleh ide-ide, pikiran-pikiran. Dan sikap-sikap yang dapat dikembangkan serta dibangun oleh kegiatan-kegiatan individu yang bersangkutan, terlepas dari lingkungannya”. Itulah sebabnya psikiater Viktor Frankle tidak bias dihancurkan oleh siksaan dalam kamp Nazi Jerman, karena ia menggunakan ide-ide, imajinasi kebebasan dalam pikirannya. Ia menggunakan ide-ide “kebahagiaan” dalam pikirannya yang bisa disentuh senjata Nazi, dan akhirnya bahkan menciptakan Logoterapi, suatu ilmu dan terapi yang berlandaskan pada makna hidup dan eksistensi. Makna hidup dan eksistensi ini juga pastilah sumber kebahagiaan.

Kita terbiasa bereaksi terhadap kejengkelan-kejengkelan sepele, frustasi, kecelakaan dengan menggerutu, menyumpah-nyumpah, tidak puas, bilang “celaka” dan “sial”, dll murni karena kebiasaan. Bila kita ingin bahagia, kebiasan ini harus diubah dengan melihat sisi-sisi positif dari peristiwa-peristiwa itu, memutuskan untuk menghadapinya dengan bahagia, mensyukuri banyaknya kejadian-kejadian kecil serta keadaan-keadaan dalam kehidupan kita sehari-hari yang sekarang menjadikan kita bahagia.

Sebagian besar reaksi tidak bahagia yang menjadi kebiasaan kita adalah karena kejadian tertentu yang kita tafsirkan sebagai pukulan terhadap harga diri kita. Penyebab utama ketidakbahagiaan adalah terlalu mengambil hati hal-hal yang sesungguhnya tidak pribadi sifatnya.

Jadi bentuklah kebiasaan bereaksi positif terhadap ancaman dan masalah. Bentuklah kebiasaan untuk selalu berorientasi pada sasaran, terlepas dari apa yang terjadi. Latihlah sikap agresif yang positif, baik dalam situasi sehari-hari maupun dalam imajinasi. Bayangkan diri anda bereaksi terhadap ancaman-ancaman bukannya melarikan diri atau menghindarinya, tapi menghadapinya dengan cara agresif yang positif. “Kebanyakan orang berani hanya dalam bahaya dimana mereka telah membiasakan diri, dalam praktek senyatanya maupun dalam imajinasi”, kata Bulwer-Lytton, novelis Inggris.****

Sabtu, 07 Februari 2009

DIKEJAR RADIASI

DIKEJAR RADIASI

Telpon Nanis, temanku dokter dari gedung pavilyun VIP, siang hari itu mengejutkanku di bangsal perawatan psikiatrik tempatku spesialisasi. “Temanmu Harjendro datang di pavilyun VIP, Nuk. Ia ingin ketemu Suryani dan mencegat semua orang yang mau pulang. Ia duduk di tangga depan. Semua tak berani keluar. Ini tugasmu untuk mengamankan dia. Kamu teman dekatnya. Tak ada orang lain yang mampu!”.
Ya, Suharjendro adalah teman dekatku sekelas di fakultas kedokteran. Ia kurus tinggi hampir menyamaiku. Ia kuliah dengan sepeda onthel laki-lakinya yang terkenal. Ia sangat pendiam dan pikirannya cenderung aneh-aneh. Ia juara main catur, dan hampir-hampir tak pernah belajar, selain membaca sekali bahan kuliahnya dan orak-orek menggambar. Lalu hasil tentamen-tentamennya menggemparkan semua tingkat. Ia selalu lulus dengan nilai sembilan hingga tak perlu ujian. Aku selalu memperoleh nilai jelek dari tentamen, harus ujian dan harus mengulang pula. Ketika sampai di siklus koassisten kami berpisah. Setelah satu putaran terlewati, kudengar Suharjendro berhenti. Teman-teman bilang ia mengalami gangguan jiwa, lalu sering menggelandang dan tak satu temanpun bisa menemui dia. Aku lulus dokter lalu ditempatkan di propinsi Timor Timur selama dua tahun. Ketika pulang aku masuk spesialisasi di bagian psikiatri sampai siang yang mendung mendapat telpon yang mengejutkan itu.
Guntur menggelegar sekali di langit yang gelap. Adik-adik koass bergegas pulang ke kandang kendaraan, diikuti teman-temanku residen dan perawat yang tidak jaga. Aku melangkah dengan gontai ke pavilyun di halaman samping selatan rumah sakit pusat tempatku belajar. Suharjendro duduk mencangkung di tangga porselin pintu depan pavilyun. Matanya nanar melihat ke pintu samping tempat keluar petugas yang berkumpul di dalam.
”Mengapa kau disini Har?”, tanyaku setelah berdiri di depannya. Ia memandangku sekilas, seakan sudah tahu bahwa akhirnya aku pasti akan muncul di depannya.
”Kau sudah tahu jawabnya, Nuk, katanya tanpa mengalihkan pandangan.
”Suryani sudah kawin, Har. Sekarang sudah punya anak satu”, kataku hati-hati. Suryani adalah siswa perawat yang ditaksir Suharjendro dulu. Tapi perawat itu menghindar terbirit-birit karena penampilan dan tutur kata Suharjendro yang lusuh dan aneh. Sekarang Suryani bekerja di pavilyun VIP. . Kuyakin ia ada di dalam bersama teman-temannya, tak berani keluar. Berpuluh pasang mata sekilas kulihat berdesakan di jendela-jendela pavilyun melihat kami berdua , satu duduk mencangkung dan satunya berdiri bersidakep. Sepasang mata bulat kulihat di tengah kerumunan pastilah dr Nanis.
”Bohong! Ngarang kamu”, katanya mendadak galak.
”Aku tak pernah berbohong padamu, Har”, kataku. Ia tercenung sesaat. Matanya menerawang jauh.
”Apakah ia sering menanyakan aku, Nuk?”, tanyanya pelan. Aku mengangguk.
”Hmm, mereka pasti bilang aku sakit jiwa ya? Dan ia pasti terpengaruh itu”.
”Tidak, Har. Hanya cara berpikirmu yang tak wajar. Tapi ayolah, tak enak kita berbicara disini. Ayolah ke kamar kerjaku”, ajakku. Ia menggelengkan kepala dan menepis tanganku. Tapi sekali lagi kuulurkan tangan kananku, mencengkeram pergelangan tangannya dan kutarik berdiri dan kuajak berjalan ke bangsal psikiatri. Ia akhirnya menurut. Kudengar riuh dan decak-decak keheranan di belakang jendela-jendela itu, bahkan tepuk tangan. Dua orang satpam RS yang disiapkan Nanis di dalam, akhirnya keluar dan mengikuti kami. Dua lelaki jangkung bergandengan tangan di siang bolong, orang yang melihat pasti berpikir, pasangan homoseksual.
Empat orang perawat jiwa laki-laki besar, bersembunyi di balik pintu depan bangsal psikiatri, mengawasi kami. Dengan satu isyarat dengan tangan kiriku, keempatnya akan menerkam Suharjendro, menjatuhkannya ke tanah, menekan punggungnya dengan lutut dan menyuntiknya dengan chlorpromazine 150mg, lalu memegang kedua tangan dan kaki, menggotongnya ke tempat tidur dan mengikatnya disana. Tapi isyarat itu tak kuberikan. Maka mereka membiarkan kami berjalan masuk ke bangsal.
Sebuah bangsal berisi 10 tempat tidur kebetulan kosong. Disinilah kami berdiskusi. Para perawat menyiapkan alat ECT dan siap menunggu di ambang pintu.
”Mengapa kau berhenti koass dan menggelandang, Har?”
”Seperti yang kuceritakan dulu, aku masih terus dikejar radiasi. Ibuku sudah dipengaruhi rezim itu dan makanan yang diberikannya padaku sudah tercemar radiasi. Begitu juga air minum dan air mandi dari sumur rumahku”.
”Kau bisa merebus air untuk mandi dan minum”.
”Radiasi itu hebat sekali. Tak mempan direbus atau disuling. Jadi aku terpaksa mandi dan minum di rumah tetangga-tetanggaku. Tak sampai seminggu, air di tempat tetangga-tetangga itupun tercemar. Mereka benar-benar ingin membuatku bodoh, tak bisa berpikir dengan mengirim rasiasi itu dan kemudian membunuh diriku sendiri”, katanya.
”Kau bisa mandi te pemandian Umbang Tirto tempat kita dulu”, kataku. Suharjendro sering mengajakku ke pemandian umum ini. Ia mengajariku menyelam dan bersamadi di dasar kolam. Ia juga mengajariku berlatih yoga, dengan menjungkirkan badan dan mengatur napas dengan kaki diatas berlandaskan kepala di bawah. Latihan ini di malam hari bulan purnama, di suatu kuburan kuna di Tawangmangu waktu acara studi tumbuh-tumbuhan berkhasiyat seluruh mahasiswa tingkat satu kesana.
”Tidak. Umbang Tirto juga sudah dicemari radiasi itu. Aku minum dan mandi di kamar mandi terminal bis Umbulharjo. Airnya juga kubawa pulang. Seminggu kemudian sudah tercemar. Aku pindah ke kamar mandi stasiun kereta api Tugu. Tak berapa lama disinipun sudah kena radiasi pula. Jadi aku pindah ke sungai saja”,.
”Kali Code, atau kali Progo?”, tanyaku.
”Ya, kali Code. Hanya seminggu, kemudian kali Progo. Juga hanya beberapa hari, lalu kali Opak di Imogiri. Disini juga hanya seminggu, akhirnya ke laut, pantai Parangtritis”, jawab Suharjendro lesu.
”Kau minum air laut?”, tanyaku.
“Ya. Tapi ku masak dulu, garamnya kusaring. Air laut kumasukkan dua cirigen besar yang kuikat di kiri kanan boncengan sepedaku. Dua hari sekali aku ke Parangtritis. Sering aku tidak pulang dan tinggal dekat pantai itu”,.
”Apa air laut tidak bisa tercemar radiasi dari rezim itu?”, tanyaku.
”Tidak. Jumlah air laut sangat besar. Radiasi ternetralisir’, jawabnya pasti.
”Bagaimana radiasi itu bisa masuk ke tubuhmu, Har?”, tanyaku.
”Ke otakku, tepatnya”,. Lalu ia mencabut sebatang pensil pendek butut dari sakunya yang kotor. Ia menggambar sistem yang ruwet dari rezim pemerintah pada papan kayu tempat tidur yang kebetulan kasurnya sedang di bersihkan. Dari sistem itu radiasi dipancarkan ke otaknya. Ia menggambar tengkorak kepala, lubang-lubang yang dilewati syaraf kepala mulai dari dasar tengkorak. Ia menu7liskan nama-nama latin dari lubang-lubang dan jalur di cranium itu. Jelas aku sudah lupa-lupa ingat semua nama latin itu, tapi ia menuliskannya dengan sangat rinci seakan baru kemarin ujian. Segera kuingat dulu tentamen anatomi yang 200 soal itu ia mendapat nilai tertinggi, sembilan koma lima. Sedang aku yang sudah belajar mati-matian untuk memperoleh nilai enam saja tidak bisa.
”Apakah kau pernah minum haloperidol, Har?”, tanyaku pelan-pelan.
”Wuah, pernah. Diberi guru kita psikiatri. Katanya supaya pikiranku tidak melenceng. Wahamku hilang. Harus diminum sebulan. Buktinya, ancaman radiasi itu tetap saja ada. Ini sungguh-sungguh serius, Nuk. Benar-benar terjadi. Tidak seperti ilmu khayalanmu itu, psikiatri. Itu tidak cocok menjelaskan bahaya yang mengancamku. Aku tak mau minum obat lagi”,.jawabnya keras.
”Kau tahu artinya bila obat tak responsif dan pasien tak mau minum obat lagi”, kataku.
”Apa? Kau akan menyetroomku? ECT? Tidak. Aku tak mau. Itu akan merusakkan susunan syaraf pusatku. Terapi biadab. Itu takkan menolongku!”, katanya semakin keras.
”Itu demi kebaikanmu, Har. Bekerjasamalah denganku. Percayalah. Kau sahabatku. Tak mungkin aku akan mencelakakanmu”, bujukku. Ia semakin keras menolak. Aku melihat ke para perawat di ambang pintu dan mengangguk. Serentak mereka berloncatan masuk bersama dua koass laki-laki yang jaga. Secepat kilat kaki dan tangan Suharjendro ditangkap dan ia dibaringkan di tempat tidur berkasur. Ia berteriak meronta-ronta tapi empat perawat dan dua koass itu terlalu kuat dilawannya. Kedua kaki dan tangannya segera terikat dengan kain di tempat tidur. Berderit meja beroda tempat alat ECT digeser ke dekat kepalanya. Aku menyambar dua kop penyetrum dan mengecek kenopnya dikedua tanganku sambil berteriak memberi insruksi voltase tinggi dan timing pendek supaya tidak terlalu menyakiti, dan adik koass memutar kenop-kenop di alat ECT itu. Selimut putih lorek-lorek RS segera ditutupkan ke tubuh Suharjendro. Perawat memegang spatel di balut khasverban tapi mulut Suharjendro segera terkatup rapat. Seorang perawat menggelitik perutnya dan ketika Suharjendero berteriak kegelian, spatel segera terpasang melintang dimulutnya untuk mencegah bibir dan lidah tergigit. Seorang perawat wanita memasang khasverban basah melintang menutup kening Suharjendro. Enny, teman dekatku dokter, telah menyuruh petugas mengambil tabung oksigen besar yang disorong di atas gledekan untuk kebutuhan sewaktu-waktu. Ia menatap dengan cemas dan sedih bersama para perawat wanita dari jauh.
Dengan mengucap ”bismilah” yang diikuti semua orang, aku menempelkan dua kop penyetrum di kening sisi kiri dan kanan Suharjendro lalu menggencet kenopnya. Segera tubuh Suharjendro terangkat bagai disentak kekuatan dahsyat, listrik voltasi tinggi menyengat kepalanya. Hening sesaat, kemudian tubuhnya meregang dan kejang-kejang hebat mirip serangan epilepsi. Enam pasang tangan perawat dan adik koass di kiri dan kanan tubuh Suharjendro menekan kuat-kuat tubuhnya yang terbalut selimut, mulai pundaknya, kedua lengannya, pingganggnya, paha dan lututnya, kakinya. Tempat tidur bergoyang berdecit-decit menahan hentakan kejang tubuh Suharjendro.
Akhirnya kejang-kejang hebat itu pelan-pelan mereda. Wajah Suharjendro pucat kebiruan kekurangan darah, nafasnya terhenti. Segera para perawat mendorong perutnya ke atas sehingga sekat rongga badannya menekan rongga dada merangsangnya untuk bernafas. Tiga kali dikerjakan mendadak nafas Suharjendro keluar bagai disentakkan. Enny mendesak ke depan dengan dua slang plastik oksigen dari tabung yang siap dicolokkan ke hidung. Tapi tak perlu, dengan tarikan-tarikan dalam, nafas Suharjendro kembali normal. Wajahnya memerah, matanya mulai terbuka dan ia melenguh-lenguh tak sadar apa yang terjadi. Akupun bernafas lega dan membalikkan badan menghadap jendela di lantai dua ini menyembunyikan mataku yang berkaca-kaca. Hujan mulai turun rintik-rintik. Pegawai-pegawai RS yang berjalan pulang membuka payungnya dan yang naik sepeda motor membuka mantelnya. Riang gembira suara mereka berceloteh. Sebuah ambulans datang menderu merapat dan dua perawat dengan dragbar berlari menyambut pasien yang diturunkan. Nun jauh disana puncak gunung Merapi yang terselimut kabut tebal nampak mencuat pongah. Seakan sinis mengejekku yang tak bisa menolong teman sendiri dan harus melakukan terapi mengerikan itu. Ya, inilah pertama kalinya aku harus melakukan terapi kejang listrik pada sahabatku sekelas. Aku mengusap air mataku yang berlinang-linang. Tapi suara guruku almarhum, Prof Suyono, mendesing ditelingaku : ”Terapi kejang listrik adalah terapi yang paling murah dan efektif untuk skizofrenia pada masyarakat di Indonesia. Inilah terapi paling biadab dalam sejarah kedokteran. Terapi ini memang tidak untuk dilihat, tapi untuk dinikmati hasilnya”,. Ini mengurangi rasa bersalahku. Mudah-mudahan ECT tadi bisa bermanfaat untuk Suharjendro.
Keesokan harinya aku menengok Suharjendro di bangsalnya. Ia sedang duduk di tempat tidur, menggambar pada selembar kertas mesin pembangkit tenaga listrik dari sinar matahari. Pasien-pasien jiwa merubung sambil berdecak-decak kagum. ”Apakah menurutmu aku menderita skizofrenia, Nuk?:, tanyanya sambil tersenyum.
”Pikiran yang terdistorsi dengan waham paranoid sangat aneh, membuatku berpikir demikian. Dan kau tak bisa fokus melanjutkan studimu, menggelandang”, kataku.
”Hm. Keruntuhan Ego? Ketidakmampuan beradaptasi dengan dunia luar? Itu kata Freud kan?’, kata Suharjendro.
”Ya. Konflik internal yang diproyeksikan keluar dalam bentuk waham paranoid”, jawabku.
”Salah!. Ilmu psikiatrimu tak bisa ditrapkan padaku. Untuk orang lain, mungkin. Bagiku tidak cocok. Aku benar-benar mengalami dikejar radiasi itu”,.
“Baiklah. Tapi kau harus minum obat, Har’,.
Suharjendro terpaksa menurut minum trifluoperazine 5mg tiga kali satu ditambah chlorpromazine 100mg dua kali satu. Seminggu kemudian dia kuantar pulang.
Aku meminta Enny, yang sedang spesialisasi di bagian radiologi, menghubungkan aku dengan seniornya. Mas Gogod adalah radiolog senior yang juga staf di badan tenaga nuklir. Kantornya mempunyai sebuah alat seperti kotak kecil mirip setrika yang bisa mendeteksi benda-benda yang memancarkan radiasi. Bertiga kami berkunjung ke rumah Suharjendro.
Rumah Suharjendro di kampung Lempuyang Wangi adalah sebuah rumah kuna yang sejuk. Di halaman ada pohon jambu dan mangga lebat yang merapat ke dinding tembok samping yang tinggi. Dulu kami sering memanjat pohon mangga ini dan duduk di tembok menghapal anatomi dan fisiologi. Suharjendro bahkan membawa papan caturnya ke atas tembok. Ibu dan kedua kakak perempuan Suharjendro sangat berterima kasih pada kami. Ibunya sambil menangis meminta kami merawat Suharjendro terus. Ia ingin anaknya bisa menjadi dokter seperti teman-temannya. Suharjendro keluar dari kamarnya di belakang yang dulu, dan menyambut kami dengan beberapa lembar koran. Di ruang tamu ia duduk dengan melandasi kursinya dengan kertas koran itu. Demikian pula ketika memegang gelas teh, ia melambari tangannya dengan sobekan koran. Wahamnya masih cukup kuat. Kemudian mas Gogod mendekatkan alat pengukur radiasi itu ke air sumur dan benda-benda di rumah Suharjendro, juga ke air sumur dan ledeng tetangga-tetangga. Jarum di alat itu bergetar tapi tak bergeming, akhirnya diam dititik nol. Kami meyakinkan Suharjendro bahwa pada air maupun benda-benda di rumahnya dan rumah tetangga-tetangga itu tidak terkontaminasi dengan radiasi, terbukti tak ada pancaran radiasi yang terdeteksi oleh alat canggih milik kantor nuklir itu. Ia cuma mendengus, sambil menukas; “Radiasi yang dikirim kepadaku itu radiasi khusus yang luar biasa, tak bisa dideteksi oleh alat secanggih apapun”,. Akhirnya kami pulang dengan berpesan supaya ia meneruskan minum obat dan kontrol ke RS bila obat habis.
Tapi Suharjendro tak pernah kontrol. Dari ibunya kutahu ia menggelandang lagi. Pulang beberapa minggu sekali minta uang untuk makan tapi akhirnya tak pernah pulang. Berbulab-bulan aku kehilangan Suharjendro. Pernah sekali ia duduk di teras rumah Bondan Suryanto, temanku dokter seangkatan yang menjadi Kepala Dinas Kesehatan Propinsi. Bondan memberinya makan dan uang cukup untuk hidup sebulan. Lalu muncul pula di depan rumah Supomo, teman kami seangkatan yang telah menjadi dokter spesialis bedah thorax. Juga Supomo memberinya uang dan memintanya pulang ke rumah. Selang setahun kemudian tiba-tiba ia muncul di tempat praktekku malam hari. Rambutnya panjang, kaosnya putih telah jadi dekil coklat, celana sobek-sobek setinggi lutut dan sepatu sandal kulitnya bertali-tali diseret karena telah jebol. Ia membawa kantong kain dipunggungnnya dengan kayu-kayu yang mencuat. Ia bilang kayu-kayu itu berpantek dan bila dibuka akan menjadi segitiga bersambung-sambung yang bila ditutup plastik bisa melindungi dia waktu tidur dari bahaya radiasi. Maklum ia tak mau minum obat antipsikotik lagi sehingga wahamnya tetap kuat. Aku menyruhnya makan dan mandi tapi ia menolak. Maka aku memberinya uang untuk hidup sebulan dan Enny memasukkan dua rantang berisi nasi berikut lauk pauknya ke dalam kantong kain di punggungnya. Tanpa bisa dicegah lagi, Suharjendro ngeloyor pergi dan hilang ditelan malam.
Lima tahun kemudian, bersamaan dengan dies natalis fakultas, ada reuni besar dokter-dokter angkatan 73, angkatanku. Karena tak bisa menyanyi, teman-teman mendaulatku membaca puisi. Mereka selalu terharu mendengarkan puisi-puisiku tentang “orang-orang yang sakit jiwa”. Tapi kali ini aku tak membaca puisi. Aku membaca cerpen yang sungguh-sungguh terjadi - “Dikejar Radiasi”- yang tokohnya kusamarkan dan kusuruh teman-temanku menebaknya. Bondan dan Supomolah yang bisa menebak dengan tepat. Semua temanku kaget, diam, terpekur. Teman-teman putri bahkan mengusap air matanya. Akhirnya vonis dijatuhkan. Aku harus menemukan Suharjendro dan merawatnya di rumah sakit jiwa tempatku bekerja selama-lamanya. Biayanya mereka yang akan nanggung. Suatu “tugas mulia” yang berat. Kemana ia harus kucari?
Seluruh pelosok kota telah kujelajahi, tak ada orang yang tahu sosok mirip Suharjendro. Suatu malam, aku menutup praktekku dan mobilku menderu pulang. Tiba-tiba kulihat diujung Jalan Gayam yang menikung sosok tinggi kurus berjalan tertatih-tatih dengan buntalan dipunggungnya berisi barang-barang mencuat. Cepat kugenjot mobilku dan langsung menikung. Bayangan itu tak nampak lagi. Aku turun dan berlari-lari di jalan menengok gang-gang kecil di kiri kanan jalan. Tapi sosok kurus tinggi itu telah lenyap. Atau aku yang berhalusinasi? Desir angin yang menjatuhkan daun-daun asam di tepi jalan bagai rintihan di malam yang semakin larut. Sayup-sayup suara anjing menggonggong yang kesepian mirip lagu lamanya Koes Plus. Bayangan seperti Suharjendro itu telah lenyap bagai di telan malam. Bersama waham radiasinya yang abadi.****