Kamis, 25 Desember 2008

Memang depresi bisa terjadi bila seseorang mengalami suatu tekanan dalam hidupnya yang berada di luar kemampuannya untuk mengatasi dan ia tidak bisa berpaling atau menghindari tekanan itu. Anda orang baru dan atasan anda telah lebih lama bekerja di tempat itu dan menjadi pimpinan yang tidak bisa anda lawan sebagai anak buah. Satu-satunya jalan adalah keluar dari perusahaan itu dan ini juga tidak mungkin karena mencari tempat kerja yang lain sangat sulit. Cara lain adalah menerima keadaan itu dan ini tidak sesuai dengan nurani anda.
Sebuah contoh adalah prajurit yang harus membakar desa dan membunuh rakyat sipil karena perintah dari jendralnya supaya desa itu tidak bisa dipakai sebagai persediaan makan musuh. Si prajurit meski sangat tidak setuju dengan perintah atasan, tidak bisa melawan, ia toh harus melakukan perintah itu, meski ia tidak membunuh tapi menawan dan melumpuhkan rakyat sipil dan anak-anaknya. Ia toh sudah menjalankan perintah itu “melumpuhkan desa tempat gudang makanan musuh”. Demikianlah anda bisa melaksanakan keputusan dan kebijaksanaan pimpinan, tapi tida atasan anda dan orang-orangnya. Biarlah. Yakinlah bahwa perusahaan masih membutuhkan orang-orang jujur dan lurus seperti anda. Atasan anda juga tak bisa mengeluarkan anda dengan alasan tidak 100% menjalankan perintah, ayau perintahnya sedikit diselengkan. Anda juga, dalam batas-batas tertentu, mampu beradaptasi dengan lingkungan kerja anda. Dengan begitu anda bisa “menerima” keadaan anda di tempat kerja itu. Hanya ini yang bisa menghilangkan depresi anda.
Bila anda benci, jengkel dan muak terhadap atasan anda dan para pengikutnya itu, hal ini akan mengakibatkan nyeri dada dan pusing pada anda sendiri. Berarti anda “sakit”, sama sakitnya dengan rekan-rekan kerja anda yang “oportunis” itu. Banyak ahli berpendapat rasa benci, jengkel, iri, curiga, muak, itu adalah kekotoran batin yang merupakan penyakit diri sendiri yang sukar disembuhkan. Itu adalah penyakit yang sesungguhnya. Maka, seseorang disebut sembuh secara spiritual bila sadar bahaya kekotoran batin tersebut. Kesadaran itulah penjaga hati. Kesadaran ini akan menimbulkan kesabaran, yang akan menghilangkan kekotoran batin tersebut.
Dalam dunia sekarang yang banyak berlimpahan tekanan, tindakan menyeleweng yang tidak sesuai dengan nurani, kekerasan dan ketidakpedulian, dibutuhkan banyak penyembuh. Gede Prama, seorang motivator ulung, membagi tiga tipe penyembuh, yaitu raja, kapten kapal, dan penggembala domba. Dalam tipe raja, sesorang bisa menyembuhkan bila sudah tersembuhkan. Dalam tipe kapten kapal, kita berlayar bersama dan sampai di di tanah penyembuhan bersama. Dalam kehidupan penggembala domba, ia harus yakin bahwa semua domba bisa makan, baru kemudian gembala itu makan bagi dirinya sendiri. Pola penggembala domba adalah yang paling mulia sekaligus paling mulia dilakukan banyak orang. Tidak perlu tersembuhkan dulu hanya untuk melakukan apa yang ditugaskan kehidupan sebaik-baiknya.
Ia yang menyediakan hidupnya untuk penyembuhan pihak lain suatu saat tidak saja ikut sembuh dan damai, tetapi juga mengalami ultimate healing (pencerahan). Meminjam bahasa orang bijak : “dalam memberi, manusia tersembuhkan”. Dengan demikian, orang biasa juga juga bisa membuat seusatu yang berbeda dengan membuat dirinya terhubung melalui pemberian dan perhatian. Karena itulah Obama bisa sukses terpilih sebagai presiden karena moto dasar kampanyenya : “to care each other”.
Seorang ahli di barat berpendapat : “The most significant step one can maketoward global peace is to soften our heart”. Membuat hatimenjadi lembut, itulah peran terbesar yang bisa diberikan pada perdamaian kehidupan umat manusia. Hasilnya, manusia bisa terhubung dengan banyak kehidupan yang teduh sekaligus menyentuh.****

Selasa, 23 Desember 2008

MULAI MENULIS DAN MEMBUKA BLOG AKHIR DES 2008

Kumulai menulis Blog ku ini di akhir Desember 2008, semoga bisa bermanfaat bagi orang lain maupun diriku sendiri. Ini karena pengaruh tulisan di koran-koran tentang Blog dan para Blogger, yang banyak dikunjungi orang dan bahkan kemudian dibukukan. Alangkah menariknya. Sebuah buku bisa muncul dari sebuah Blog. Tentu Blog tak ubahnya seperti catatan harian, tapi catatan harian yang layak dibaca umum dan bisa memberi pengetahuan. Jadi tidak berisi tetek bengek konflik emosiaonal yang bersifat personal, tapi detil-detil suatu fenomena dalam kehidupan yang mungkin menarik dan bermanfaat bagi orang lain. Mungkin seperti catatan perjalanan Laksamana Ceng-Ho, atau catatan perjalanan Abdulah Bin Abdul Kadir Munsyi di abad 18 yang banyak diteliti dan dibukukan para ahli-ahli negeri barat.
Mungkin juga seperti studi, perenungan, dan analisis Sigmund Freud yang menciptakan psikoanalisa dan psikiatri serta psikologi. Tulisan-tulisan yang kemudian menjadi bahan kuliah, dan banyak buku seabad kemudian. Tulisan-tulisan yang dikatakan orang bernilai sastra pula. Sejak dulu aku ingin melakukan hal itu, baru pada usiaku yang telah lebih 50 tahun ini baru kukerjakan. Ya, tapi apakah perihal dalam hidupku ini yang layak dituliskan? Tentunya banyak, asal ditulis dengan detil-detil yang penting dan wawasan pengetahuan yang mendalam, bukankah ini syarat sebuah buku ditulis?
Mungkin masa kecilku sebagai anak yang dilahirkan di Gang Wirogunan Taman Siswa. Sebagai anak sepasang guru Taman Siswa yang sekolah di Taman Indriya, Taman Muda, Taman Siswa. Judulnya, yang kurenungkan, adalah Neng Ning Nung Nang Anak Taman Siswa, atau Laskar Jipang Taman Siswa. Wah, tentunya ini seru, karena berisi kisah-kisah perjuangan anak Taman Siswa di tahun 60an, dengan klimaksnya peristiwa "G30S PKI". Semua anak seusiaku pasti merasakan hal itu.
Kemudian pengalaman sebagai dokter puskesmas di kecamatan Ossu, Kabupaten Viqueque Timor Timur. Tentu banyak orang tidak tahu bagaimana perjuangan para dokter yang bertugas di wilayah perang yang akhirnya toh terlepas dari Indonesia itu. Atau pengalaman sebagai aktivis pramuka di tahun 70an, yang tentunya beda dengan jaman kepanduan tahun 50an, atau jaman "pramuka sekolahan" sekarang.
Entahlah. Mungkin juga kehidupanku sebagai dokter jiwa di RSJ kuna penginggalan Belanda. Dan tentu saja ilmu pengetahuan psikiatri, analisis-analisis kejiwaan, konsep-konsep baru psikiatri yang tentunya bermanfaat bagi orang lain yang membutuhkan. Mungkin juga cerita-cerita pendek dari RSJ kuna, meski berupa draf saja. Wah, cukup banyak juga, mungkin menjadi kesibukanku sebagai pekerja dibidang kesehatan mental, bila aku telah diberhentikan sebagai struktural. Yang jelas untuk tahun ini ada dua peristiwa penting bagiku, yaitu mengikuti dan menjadi pembicara pada KONAS ke IV Skizofrenia di Lombok, dan sekaligus "lounching" bukuku yang pertama, MEREKA BILANG AKU SAKIT JIWA. Dua hal ini akan kutulis sendiri-sendiri, mengawali Blog ini, selain mengisi pelatihan PSIKOMETRI bagi para psikiater, teman-temanku tercinta di RSJ Semarang.

Jumat, 14 November 2008

Antara Kebutuhan Emosi dan Seks.


Konsultasi Kesehatan Jiwa.

Pengasuh dr. INU WICAKSANA, Sp.KJ, MMR


SAYA seorang wanita yang telah berpisah dengan suami, bekerja di kantor yang mengurusi turisme, punya anak laki-laki satu. Saya sering berdebat dengan sahabat saya (wanita dan sarjana), tentang apa sebenarnya yang menjadi kebutuhan seorang wanita dari pria pasangannya. Saya ingin mendapatkan penjelasan, sebab menurut saya kebutuhan itu meliputi :

I. Kebutuhan psikis, diantaranya kebutuhan emosi cinta,curahan kasih sayang, perhatian, perlindungan, rasa aman dan sebagainya.

II. Kebutuhan biologis yang menurut saya justru kebutuhan psikis pada kebanyakan wanita lebih dominan dari pada keutuhan ”sex”nya. Tapi menurut sahabat saya tadi, pendapat saya adalah pendapat munafik yang sering dilakukan wanita, yang hanya berputar-putar, sedang sebenarnya yang dibutuhkan adalah ”sex”. Dia tidak mengakui adanya kebutuhan psikis uang letaknya berbeda dengan dengan kebutuhan biologis. Misalnya sewaktu kami berdua melihat masalah seorang istri (setengah baya) yang disiksa setengah mati (fisik dan psikis) sejak mudanya oleh suaminya, tapi si istri selalu ”nrima” dan tidak pernah minta cerai atau protes yang menurut pendapat sahabat saya hal itu disebabkan karena si istri membutuhkan ”seks” dan suami pandai memuaskannya.

Sedang menurut saya, adalah karena 1. alasan ekonomi, demi anak-anak, pola pikir yang dibentuk oleh kebudayaan setempat misal tidak pantas bercerai, perempuan harus ”nrima” dan sebagainya. 2. terjadinya kerusakan jiwa pada si istri, yang semakin disiksa semakin hilang rasa percaya dirinya, semakin lemah dan tergantung pada si penyiksa; 3. menjadi masochist setelah penyiksa bertahun-yahun atau memang pada dasarnya seorang masochist.

Demikianlah dok, saya mohon pendapat dokter bagaimana ?

TW di Yogyakarta.

Saudari TW yang baik di Yogyakarta,

Memang sesungguhnya kebutuhan-kebutuhan psikis dan biologis terhadap pria pasangan itu sulit dipisahkan sehingga sering disebut kebutuhan ”Psikoseksual” yang menurut konsep ”pan-seksuaisme” Freud, mendasari hampir semua perilaku dan tindakan manusia, kata bapak psikoanalisa itu, bukan hanya sebatas hubungan kelamin (coitus) saja, tapi semua dorongan insting yang memenuhi ”prinsip kenikatan’ (pleasure principle) yang dimulai sejak perkembangan anak terhadap kenikmatan oral (mulut), anal (anus), phalik atau tonjolan –tonjolan tubuh yang berawal dari tubuh sendiri yang kemudian di proyeksikan ke tubuh orang lain (lawan jenisnya). Pada laki-laki kebutuhan atau dorongan seksual pada umumnya bersifat rata atau menetap, sampai tua. Sehingga dalam hal mendekati ataupun percintaan dengan wanita, penampilan dan daya seksual (sex-appeal) hampir selalu memikat terlebih dahulu. Maka wanita cantik dan seksi selalu didekati banyak lelaki dibanding wanita pintar dan berkepribadian tapi tidak cantik dan seksi.

Sedang pada wanita kebutuhan dan kehidupan seksual cenderung bergelombang ( fluktuatif) dan terbatas (karena menopause), naik turun tidak tetap dan setelah me-nopause cenderung menurun. Pada saat-saat menurun itulah ( dan lebih banyak turunnya, misalnya sehabis melahirkan, pengaruh hormonal) kebutuhan psikoseksual lebih didominasi oleh kebutuhan akan kasih sayang , rasa aman dan sebagainya. Kebutuhan psikoaseksual pada dewasa merupakan kelanjutan masa anak, seperti penelitian psikiatri di Swedia pada anak prasekolah yang mendapatkan kebutuhan –kebutuhan terbanyak yang sama kadar-nya, yaitu perhatian, kasih sayang, rasa aman, aktualisasi diri, berbicara dan di dengar-kan pembicaraannya, rabaan atau belaian (tendensi seksual). Jadi memang benar pendapat anda, pada kebanyakan wa-nita, kebutuhan untuk bisa bicara, dimengerti, kasih sayang, rasa aman dan sebagainya lebih dominan dari sekedar seks secara biologik walaupun wanita yang nimpomania (hiperseks) tak kurang pula jumlahnya.

Mengenai apa yang dibutuhkan wanita dari pria pasangannya mungkin sama dengan apa yang harus dipenuhi oleh seorang laki-laki dalam perkawinan, yang menurut agama (islam) adalah ” nafkah lahir” yaitu makan, sandang papan dan sebagainya dan ”nafkah batin” yaitu kasih sayang perhatian,perlindungan termasuk kebutuhan seksual. Jadi yang dibutuhkan lengkap dan berimbang , jasmaniah dan rochaniah.

Pada wanita pada umumnya memang ada dasar pembawaan ”masokisme”, mungkin ini disebabkan indentifikasi masa anak terhadap figur ibu yang lebih inferior terhadap figur bapak yang superior. Beberapa diantaranya bila ada faktor – faktor yang mendukung, bisa berkembang menjadi kepribadian masokistik atau malah gangguan masokisme seksual, yaitu bila satu-satunya cara untuk mendapatkan kegairahan dan kepuasan seksual adalah dengan dihina, diikat, dipukul, dicekik, atau penderitaan lainnya. Dan individu itu dengan sengaja turut dalam aktivitas dimana ia mendapat perhatian atau rudapaksa jasmani demi tercapainya kepuasan seksual itu.

Akibatnya wanita dengan masokisme seksual cenderung mencari pasangan pria yang sadistik pula, jadilah pasangan sadomasokistik. Jadi bisa saja fenomena yang anda amati bersama sahabat itu termasuk pasangan ini dan itu memang suatu deviasi (penyimpangan) seksual yang tahan bertahun-tahun, bukan karena wanita itu hanya butuh seks dan mau saja disiksa setengah mati oleh suaminya karena suaminya pandai memuaskan kebutuhan seksnya.

Pendapat anda benar, memang wanita yang seperti mau dan nrimo saja dianiaya suaminya bertahun-tahun tidak minta cerai itu bukan karena ia butuh seks dan terpuaskan oleh suaminya, dan belum tentu pula ia seorang masokistik seksual, tetapi karena faktor-faktor lain seperti demi anak-anak, ketergantungan sosial ekonomi, tradisi dan nama baik keluarga, dan lain-lain. Tapi bila penganiayaan tak tertanggungkan lagi, wanita itu bisa meledak, seperti kasus di negeri barat tentang wanita yang diadili dan akhirnya bebas karena memotong alat kelamin suaminya yang menghebohkan dunia itu.

Memang karena inferioritas wanita di negeri negeri timur, seperti Jawa dalam tradisi kuno di era pra Kartini, wanita cenderung (harus) nrima dan cenderung ”masokis” walaupun tidak mesti jadi masokistik apalagi masokisme seksual. Wanita dalam adat dan budaya tradisional itu tentu saja harus mau dihina, dianiaya, dst karena ia hanyalah ”konco wingking” dan ” swargo nunut neraka katut” bagi suaminya.